Senin, 10 Oktober 2016

LIVE IN JOGJA


Pada tanggal 28 Oktober 2012, kelas IX dan XII Sekolah Santa Patricia melakukan perjalanan ke Desa Kebon, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Kita pergi ke daerah itu dalam rangka “Live-In.” Ini adalah sebuah program sekolah dimana kita tinggal di rumah penduduk selama tiga hari untuk mempelajari dan mendalami cara hidup, perkerjaan dan budaya mereka. Jadi, cerita ini adalah pengalaman yang aku dapatkan di desa.
Selama perjalanan bis menuju desa, aku bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi orang tua asuhku, dimana aku akan tinggal, dengan siapa saja aku akan tinggal, banyak sekali pertanyaan yang ada di benak. Begitu sampai, kita berkumpul di rumah Pak Agus, menunggu orang tua asuh kami menjemput. Beberapa menit berlalu, datanglah seorang ibu berwajah ceria, datang untuk menjemput aku, Floren, FT, dan Maria. Namanya Bu Marsiti. Dia membawa kami ke rumahnya di Pundung. Begitu sampai rumah, Bu Siti langsung menyiapkan makan pagi dan menyuruh kami mandi dan istirahat. Sorenya, kami bertemu dengan kedua anak laki-laki Bu Siti, Andrey dan Alfani. Mereka pendiam tetapi sangat ramah. Kami menghabiskan waktu bersama keluarga Bu Siti dan merasakan cara hidup di pedesaan.
Keesokkan harinya, kami pergi ke ladang untuk menanam jagung. Jalannya sangat jauh dan berliku-liku, tetapi tampaknya Pak Aris, fasilitator kami, sudah terbiasa dan sangat hafal jalannya. Sampai di ladang, pakaian kami sudah basah oleh keringat dan kami kelelahan. Kami diajak untuk terjun langsung ke ladang untuk menanam bji jagung. Ternyata, tidak semudah mengatakannya, menanam jagung membutuhkan banyak energi. Kita harus memasukkan biji jagung ke setiap lubang, lalu menutupnya dengan pupuk. Lubang-lubang itu tidak terlalu terlihat dan tanah yang kita injak sangatlah panas. Walaupun melelahkan, kegiatan ini menambah pengetahuan dan kebersamaan kami. Tidak ada satupun dari kami yang pulang tanpa senyum diwajah. Pulang dari ladang, kami makan siang di rumah masing-masing, lalu berkumpul lagi di rumah Pak Agus untuk mendapatkan pendalaman iman rohani. Kami diajarkan untuk menjadi pribadi yang tangguh.
Pagi dihari ketiga, kita diberi waktu untuk bersantai bersama keluarga asuh masing-masing, lalu pergi ke rumah Pak Agus untuk mendapatkan pendalaman iman rohani. Kami belajar tentang “Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan dan Tantangan (Strength, Weakness, Opportunity, Thwart)” Pendalaman iman rohani dilanjutkan dengan misa. Misa berjalan dengan sangat lancar dengan iringan koor oleh orangtua asuh. Walaupun malam itu hujan, kami tetap dengan ceria melaksanakan misa. Malam itu adalah malam terakhir bersama keluarga asuh. Rasanya waktu cepat sekali berlalu di desa ini. Tidak rela rasanya meninggalkan Bu Siti, Andrey dan Alfani. Kami pasti merindukan masakan Bu Siti yang kelezatannya tidak bisa dibandingkan. Malam itu, kami berbicara di ruang tamu sebanyak mungkin, menceritakan pengalaman kami. Bu Siti juga memberi kami pesan dan kesannya.
Besoknya pagi-pagi sekali, kami bangun dan bersiap-siap pulang. Sedih sekali mengucapkan selamat tinggal kepada Bu Siti. Bahkan kami tak sempat berpamitan pada Andrey dan Alfani yang sudah pergi ke sekolah. Bu Siti banyak berpesan kepada kami, bahkan Bu Siti memberikan oleh-oleh kepada kami. Kami sangat terharu dengan ketulusan dan kebaikan yang telah Bu Siti berikan kepada kami selama 3 hari ini. Perasaan sedih, haru, senang, dan terima kasih kami tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Bu Siti, keluarganya, fasilitator dan seluruh warga desa telah memberikan ku banyak sekali pelajaran berharga yang membuatku menjadi manusia yang lebih baik. Nilai-nilai ini aku dapatkan setelah mengamati dan hidup ditengah-tengah warga Desa Bayat.
Pertama, aku belajar untuk melayani. Semua warga desa melayani kami dengan sangat baik. Mereka menempatkan kepentingan kami diatas kepentingan mereka sendiri. Bu Siti dan anak-anaknya selalu mempersilahkan kami untuk mandi dan makan sebelum mereka. Mereka dengan rela melayani kami tanpa meminta balasan.
Kedua,  aku belajar untuk menjadi mandiri. Bangun pagi, mencuci piring, maupun menjemur pakaian, semua dilakukan sendiri. Didesa, bahkan anak kecil pun memiliki tugas masing-masing.Tidak boleh bergantung pada orang lain, kita harus menjadi mandiri dan mendisiplinkan diri sendiri.
Ketiga, kebersamaan keluarga sangatlah penting. Disana, selalu ada waktu untuk keluarga. Sore atau malam hari, semua anggota keluarga berkumpul di ruang tamu tanpa membawa HP, dll. Kami berbicara dan menceritakan masalah kami. Kebersamaan dan komunikasi antar anggota keluarga sangatlah lancar, tulus dan tidak dipaksakan.
Keempat, kebudayaan masih sangat kental. Kebudayaan dijaga dan dilestarikan dengan sangat baik. Bahasa Jawa digunakan secara umum, membatik adalah profesi umum, makanan tradisional, dan lain sebagainya. Kebudayaan yang masih sangat terlihat menjadi salah satu ciri khas Desa Bayat ini.
Kelima, semuanya adalah satu keluarga besar. Di desa, hubungan kekerabatan keluarga sangatlah dekat. Warga desa mengenal satu sama lain dengan sangat baik. Mereka menjaga komunikasi agar terus terjadi diantara mereka. Sifat gotong-royong juga tampak diantara mereka. Mereka selalu saling tolong-menolong dan memperhatikan kebutuhan satu sama lain. Tidak ada sifat individualistis diantara mereka. Mereka berbagi and saling melayani sebagai satu keluarga besar yang harmonis. Selama 3 hari tinggal disini, rasa kekeluargaan dapat dengan jelas kita rasakan, apalagi ketika kita menghabiskan waktu bersama keluarga asuh.
Masih banyak sekali nilai-nilai yang aku dapatkan setelah melaksanakan perjalanan live-in ini. Aku akan selalu menghargai setiap momen yang aku alami bersama keluarga asuh dan warga desa. Aku berharap agar kedepannya, semua yang telah aku pelajari ini dapat membuat aku lebih mengembangkan diri menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi sesame. Semoga kami semua yang kembali dari Desa Bayat mendapatkan pelajaran dalam hidup dan berubah menjadi lebih baik.
Maria Stefani (IX B/020 )

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More